Senin, 18 April 2011

Berusaha Makmur dari Bisnis Jamur

SURABAYA – SURYA - Bisnis makanan jamur olahan semakin terus menjamur. Tak sedikit para pelaku bisnis ini yang mencicipi kenyalnya laba jamur olahan. Bagi pasangan karib Nur Cholis dan Tririan Ariyanto, bisnis snack jamur alias kudapan jamur yang mereka rintis sejak dua tahun silam bukan asal-asalan.
“Ide awalnya ingin membuka warung makanan kecil-kecilan tapi jenisnya makanan sehat dengan rasa terjamin. Kebetulan, waktu itu teman saya punya kenalan petani jamur. Dari sinilah ide ini berkembang,” ujar Nur Cholis, pemilik gerai Muhsroom Factory mengawali percakapan.
Diceritakannya, tiga tahun silam, bisnis makanan ringan semacam ini masih dianggap remeh-temeh. Sampai saat ini pun, pelaku usaha sejenis masih bisa dihitung dengan jari. Tak hanya di Surabaya, bisnis makanan jamur olahan juga bisa dijumpai di daerah Bogor, Bandung, Jakarta. Jenis makanannya pun bervariasi, mulai jamur dibungkus tepung lalu digoreng, sate jamur, hingga nugget jamur.
Rasanya mak nyus! Kenyalnya mirip daging. Lidah penikmat menu vegetarian tentu mengakrabi rasanya. “Di Muhsroom Factory kita sediakan dua rasa, original dan tasty. Rasa original paling sering dibeli,” imbuhnya.
Jamur yang diolah saat ini jenis oyster atau tiram putih, enoki, dan jamur kancing. Cara mengolahnya cukup gampang. Jamur mentah dibungkus tepung plus bumbu rahasia kemudian digoreng dengan mesin penggoreng elektrik (deep fryer). Toppingnya sesuai selera, bisa saos merah mayonaise atau taburan keju. Jadilah kudapan lezat siap dinikmati.
“Saya tidak main-main ketika membuka gerai ini. Berapapun modalnya meskipun harus jual motor, kamera dan utang lewat kartu kredit saya rela. Saya melihat potensi makanan ini cukup bagus, belum ada pemain yang kuat di bidang ini,” sambungnya.
Jiwa wirausaha yang ia miliki diturunkan dari sang ayah. Sejak mahasiswa, pria kelahiran Surabaya 15 Maret 1984 ini sudah ulet berdagang, mulai kaos, kosmetik, sampai handset BlackBerry yang waktu itu masih belum se-booming sekarang.
“Hobi saya jualan apa saja. BlackBerry sekitar lima tahun lalu masih dianggap ponsel China sehingga harganya masih Rp 750.000. Pesanan dari teman-teman waktu itu cukup bagus,” kenang mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair ini.
Sekitar tahun 2005, Nur Cholis dipertemukan dengan teman SMA-nya Tririanto di Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) Padang. Ide membuka usaha pun bersambut. Mushroom Factory kini digawangi satu lagi teman sekolah mereka ketika duduk di bangku SMAN 1 Sidoarjo yakni Rizal Atmaja.
“Saat ini kita kerjasama dengan petani jamur di Malang, dulu dengan petani jamur di Pacet tapi kemudian tidak berlanjut.
Di Malang ada sekitar 30.000 log jamur yang siap dipanen, setiap harinya bisa panen dua kuintal jamur tiram. Kalau jamur enoki masih kita impor dari Jepang dan Korea. Untuk kebutuhan toko hanya 70 kg, sisanya kita lempar ke pasar-pasar tradisional untuk dijual eceran,” katanya.
10 Gerai
Saat ini Mushroom Factory telah memiliki 10 gerai tersebar di mal-mal, dua diantaranya franchise yakni di WTC dan City of Tomorrow (Cito). Setiap harinya 500 bungkus bisa terjual. Per porsi ia jual Rp 15.000–16.000. Selain jamur, saat ini Nur Cholis juga mengembangkan kudapan brokoli dan bawang bombai.
Rupanya tak sia-sia Nur Cholis menjual sepeda motor GL-Pro dan kamera Nikon D40 sebagai modal usahanya. Buktinya kini ia bisa mendulang omzet sedikitnya Rp 25-30 juta per bulan.
“Beberapa gerai sudah BEP. Sisanya belum. Kalau yang franchise kita tawarkan hak patennya Rp 35 juta plus fee untuk perpanjangan lisensi per tahun nilainya 25 persen dari nilai investasi,” imbuhnya.
Tak ingin sukses sendirian, Nur Cholis pun menggandeng adik-adik kelasnya untuk mengikuti jejaknya. “Saya ajak mereka berwirausaha juga, salah satunya saya tawari frenchise yang Cito itu milik empat mahasiswa Unair,” katanya.
Sulung tiga bersaudara ini mengakui jika modal terbesar berwirausaha adalah nekad. “Modal uang bisa dicari kalau punya kemauan kuat dan nekad. Dulu saya beli satu unit deep fryer Rp 2,8 juta dan minyak goreng khusus yang memiliki titik didih sangat tinggi memakai kartu kredit. Saya rela buka account di beberapa bank untuk mendapatkan kredit dengan cara mudah,” sambungnya.
Ke depan, Cholis ingin mengembangkan usahanya dalam bentuk packaging food dan memperomosikannya lewat internet. “Sekarang saya sedang membuat website khusus. Nantinya saya mau bikin kudapan jamur ini dalam kemasan. Mau beli mesin pengeringnya dulu,” yakinnya.
Sukses yang dicapai Nur Cholis tak ada artinya tanpa konsumen. Rasa serta manfaat kesehatan yang didapatkan dari produknya menjadi salah satu daya tarik tersendiri. Agustin Dwi Astuti, misalnya. Salah satu pelanggan Mushroom Factory ini mengaku kecanduan dengan kudapan ini sejak dua tahun silam.
“Suami saya yang memperkenalkan kudapan ini. Sekarang, tiap kali saya jalan-jalan ke mal pasti mampir untuk beli. Tidak cuma saya dan suami yang suka tapi adik-adik saya juga,” ujar wanita 28 tahun ini.
Penyuka rasa mushroom original ini mengaku berkali-kali mencoba resep yang sama namun hasilnya selalu saja berbeda. “Saya penasaran rasanya kok bisa crispy. Tapi pas bikin sendiri kok rasanya beda,” kata ibu satu anak asal Banyuwangi ini.
Menurutnya, porsi sebungkus dengan harga Rp 15.000 cukup terjangkau kalangan manapun. Tak heran jika kudapan ini selalu laris. “Dulu pas masih pacaran, suami selalu promosiin. Sekarang malah saya yang ketagihan,” imbuhnya.
Sadar Kesehatan
Pakar gizi FKM Unair Bambang Wirjatmadi menambahkan, jamur merupakan tanaman kaya serat dan protein. “Sudah lama jamur dijadikan makanan olahan terutama bagi kalangan vegetarian. Di Sleman makanan ini sangat familiar,” katanya.
Padahal, dulu tak banyak orang yang melirik tanaman ini. “Varian jamur sangat banyak. Hati-hati kalau memilih jenisnya, sebab hanya beberapa varian yang bisa dimakan,” ujarnya.
Bermunculannya para pelaku usaha yang menjadikan jamur sebagai bahan dasar, merupakan bentuk kesadaran tentang pentingnya kesehatan. “Masyarakat semakin bisa memilih mana tanaman yang berpotensi dijadikan makanan kaya gizi. Bahan baku jamur di Indonesia sangat melimpah, terutama di dataran tinggi. Budidayanya juga mudah. Saya yakin bisnis makanan dengan bahan dasar tanaman ini cukup prospektif,” jelasnya. ame

Tidak ada komentar:

Posting Komentar